Ada yang mengatakan
bahwa anda belum ke Tanjung Pinang bila belum pernah mengunjungi pulau
Penyengat. Kedengarannya sangat menarik, ada apa di pulau itu? Pasti ada
hal-hal yang menarik, paling tidak, seperti peninggalan
sejarah atau peninggalan kerajaan dimasa lampau. Nah,
ketika untuk pertama kalinya mengunjungi kota Tanjung Pinang pada tahun 2016,
saya belum sempat menyeberang ke Pulau Penyengat, padahal jaraknya hanya
berjarak sekitar 2 km saja dari kota Tanjung Pinang. Maka pada kesempatan yang
kedua ini, tepatnya Mei 2017, saya kembali mendapat kesempatan untuk
mengunjungi Tanjung Pinang, dan pada kesempatan kedua inilah saya gunakan untuk
menyeberang ke pulau Penyengat meskipun hanya sebentar.
Pulau
Penyengat
Sore itu sekitar
jam 16.00 waktu setempat, seorang teman yang tinggal di Tanjung Uban datang
menjemput saya di hotel CK tempat saya menginap untuk mengajak ke pulau
Penyengat. Meskipun hari sudah menjelang sore, namun untuk kesana masih
memungkinkan karena jaraknya juga tidak terlalu jauh. Saya tetap yakin
waktunya cukup untuk menyeberang kesana walaupun hanya punya kesempatan selama
dua jam saja. Dengan menggunakan mobil Suzuki Ertiga miliknya, kami segera
meluncur menuju dermaga penyeberangan. Setelah mobil diparkir dipinggir jalan,
kami berjalan menuju dermaga. Meskipun jalannya kecil tapi suasana nya cukup
sepi dan tidak banyak orang berlalu-lalang.
Jalan
menuju dermaga
Sampai di dermaga
yang bentuknya memanjang dan menjorok ke laut, kami berjalan menyusuri dermaga
melewati penitipan sepeda motor yang penuh dengan kendaraan roda 2, melewati
beberapa kantor dan akhirnya sampai di tempat penjualan tiket penyeberangan.
Untuk menyeberang ke pulau Penyengat kita harus menggunakan perahu kecil atau
biasa disebut pompong, karena perahu yang mau berangkat sudah penuh terpaksa
harus menunggu perahu berikutnya. Ongkos menyeberang sebesar Rp.7.000 per orang
untuk sekali jalan dengan perahu yang berkapasitas sekitar 15 orang. Namun jika
ingin menyewa perahu sendiri, tarifnya menjadi jauh lebih mahal yakni
Rp.100.000 untuk sekali jalan dan Rp.200.000 untuk pergi pulang.
Tarif penyeberangan ke Pulau penyengat
Tak terlalu lama
menunggu, akhirnya perahu berikutnya sudah siap untuk menyeberang, kami segera
berjalan menuruni tangga dermaga untuk mencapai perahu. Saya duduk di barisan
depan agar bisa leluasa melihat pemandangan selama penyeberangan. Ada beberapa
penumpang berseragam pegawai Pemda dan ada pula beberapa anak sekolah dengan
seragam SMA. Para pegawai dan anak sekolah ini nampaknya memang penduduk asli
dan tinggal di pulau Penyengat namun aktivitas kesehariannya dilakukan di Kota
Tanjung Pinang. Ketika saya tanyakan ke teman yang mengantar, dia katakan bahwa
sepeda motor yang ada di penitipan di dermaga tadi, itu adalah sepeda motor
milik penduduk pulau penyengat yang dipakai untuk aktivitas sehari-hari di kota
Tanjung Pinang. Jadi sepeda motornya diparkir di dermaga di Pulau Bintan, orang
nya pulang ke rumah naik perahu, dan tentu saja sepeda motor itu tidak pernah
dibawa pulang.
Dermaga
Pulau penyengat
Selama menyeberang,
perahu berjalan berayun-ayun dan bergoyang, dan ditambah lagi dengan terpaan
angin laut sore hari yang cukup kencang. Dalam perjalanan banyak cipratan air
laut yang memercik hingga mengenai wajah, bahkan sebagian percikan juga mengenai bibir dan tentu saja terasa
asin di mulut. Tak ajal lagi wajah menjadi lengket kena air laut dan baju
sedikit agak basah. “Salah strategi, salah memilih tempat duduk” pikirku,
maklum saja karena tidak berpengalaman naik perahu pompong. Setelah menyeberang
sekitar 15 menit akhirnya perahu merapat di dermaga Pulau Penyengat. Dari perahu kami naik ke dermaga, kemudian dilanjutkan berjalan menuju ke
daratan. Sesampai diujung dermaga, disana sudah ada beberapa becak motor yang
menunggu yang siap mengantar kita berkeliling pulau dengan tarif sebesar
Rp.30.000,-.
Becak
Motor
Baru berjalan
beberapa meter becak motor berhenti didepan Masjid Pulau Penyengat atau lebih
dikenal dengan masjid Raja Sultan Riau. Saya turun dari becak motor, lalu naik
melalui tangga masjid menuju pintu gerbang dan masuk hingga ke beberapa bagian
masjid. Selain kami, ada juga beberapa pengunjung lain yang datang dan
berfoto-foto dengan latar belakang masjid Sultan Riau. Masjid yang berwarna kuning ini awalnya dibangun oleh
Sultan Mahmud pada tahun 1803. Kemudian pada sekitar tahun 1832 pada masa pemerintahan Yang
Dipertuan Muda VII Raja Abdurrahman, masjid ini direnovasi dengan bentuk seperti yang terlihat pada saat ini.
Bangunan
utama masjid ini berukuran 18 x 20 meter yang ditopang oleh empat buah tiang dan pada keempat sudut bangunannya terdapat menara tempat Bilal mengumandangkan
adzan. Lantai bangunannya berasal
dari batu bata yang terbuat dari tanah liat. Di halaman masjid terdapat dua
buah rumah sotoh yang diperuntukkan bagi musafir dan tempat menyelenggarakan pertemuan atau musyawarah. Selain itu, di
halaman masjid juga terdapat dua balai, tempat menaruh makanan ketika ada
kenduri dan untuk berbuka puasa ketika bulan Ramadhan tiba. Keseluruhan
terdapat 13 kubah yang berbentuk
seperti bawang. Jumlah keseluruhan menara dan kubah di Masjid Sultan Riau
sebanyak 17 buah yang melambangkan jumlah rakaat salat wajib.
Pintu masuk Masjid Raja Sultan Riau
Setelah melihat masjid Raja Sultan Riau, kami kembali menaiki becak motor kearah kiri
melewati perumahan penduduk dan akhirnya berhenti di komplek pemakaman Raja
Hamidah (Engku Puteri) permaisuri Sultan Mahmud Shah III tahun 1760-1812.
Setelah berjalan lagi kemudian becak motor kembali berhenti di depan komplek
makam Raja Ja’far dan Raja Ali. Raja Ja’far adalah Yang Dipertuan Muda Riau VI (1805-1832)
yang memerintah ketika terjadi perebutan wilayah jajahan antara Belanda dengan
Inggris, Raja Ja’far adalah pengembang pertambangan di singkep, meninggal di
Daik Lingga dan kemudian dimakamkan di Pulau penyengat. Di dalam komplek makam
juga terdapat makam Raja Ali Yang Dipertuan Muda Riau VII (1844-1857), yang
berdampingan dengan makam Raja Ja’far. Bangunan yang memayungi kedua makam itu
terlihat seperti sebuah bangunan masjid dan dibagian luarnya terdapat sebuah
kolam atau tempat air untuk berwudhu.
Becak motor berjalan kembali hingga
kesisi pantai berikutnya, disana kita akan melihat sebuah bangunan besar yang juga didominasi
oleh warna kuning, yang disebut dengan Balai adat. Balai
adat ini adalah replika rumah panggung adat Melayu yang yang terbuat dari kayu
yang pernah ada di pulau Penyengat. Rumah adat ini difungsikan sebagai tempat
untuk menyambut tamu atau untuk mengadakan jamuan bagi orang-orang penting.
Balai adat
Tak berla-lama berada disana perjalanan
dilanjutkan menuju istana kantor dan Gudang Mesiu. Istana
Kantor adalah istana dari Yang Dipertuan Muda Riau VIII Raja Ali (1844-1857),
atau juga yang disebut dengan Marhum Kantor. Selain digunakan sebagai kediaman,
bangunan yang dibangun pada tahun 1844 ini juga difungsikan sebagai kantor oleh
Raja Ali. Istana Kantor
berukuran sekitar 110 m2 dan
menempati areal sekitar satu hektar yang seluruhnya dikelilingi tembok.
Bangunan dan puing yang masih ada memperlihatkan kemegahannya pada masa lalu.
Sedangkan Gudang mesiu adalah
bangunan berdinding tebal dan berwarna kuning kusam. Ada kubah bertingkat di
atasnya. Gudang ini dulunya digunakan sebagai gudang tempat penyimpanan mesiu yang awalnya berjumlah 4 buah, namun
saat ini hanya tersisa 1 buah bangunan saja.
Istana Kantor
Disebelah gudang Mesiu terdapat komplek makam Raja
Abdurrahman yang merupakan yang dipertuan muda Riau VII (1832-1844), dan
setelah mangkat dikenal dengan Marhum Kampung Bulang, Makam Raja Abdurrahman
dikelilingi oleh tembok yang dihiasi dengan ukiran. Di komplek ini terdapat 50
makam lainnya yang terbagi menjadi dua bagian, yakni makam yang berada didalam
tembok dan diluar tembok. Makam Raja Abdurrahman terletak di depan pintu
gerbang dan posisinya di tengah arah pandang pintu gerbang.
Gudang Mesiu
Karena hari semakin sore, dan sebentar lagi akan gelap,
maka perjalanan keliling pulau Penyengat ini, saya akhiri dan segera kembali
menuju dermaga penyeberangan. Padahal masih ada satu lagi tempat yang belum
sempat dikunjungi yakni bukit kursi. Bukit kursi ini dahulu
merupakan benteng pertahanan Kerajaan Johor-Riau. Karena strategis nya
posisi benteng di bukit ini, maka di Bukit Kursi ini pernah ditempatkan sebanyak 8 buah meriam untuk pertahanan pantai. Tentu saja tujuannya untuk
mempertahankan diri ketika musuh datang dan mendekati pulau.
Karena pulau Penyengat ini sangat kecil, maka hanya berjalan
sekitar dua ratus meter dari lokasi
Gudang Mesiu, becak motor yang kami naiki sudah sampai kembali ke dermaga. Setelah
membayar ongkos sewa becak motor, kami segera menuju loket penjualan tiket
perahu pompong, dan ternyata masih ada perahu yang akan menyeberang ke Kota Tanjung
Pinang. (Mei 2017)***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar