Hari
semakin sore, langit terlihat mendung dan kami hanya bisa berharap semoga hujan
tidak turun dengan cepat. Setelah mobil berhenti, kami satu persatu turun dari
mobil sewaan. Pemandu wisata mengatakan bahwa kita sudah sampai diperbatasan dengan
Baduy Dalam di desa Cijahe, semua mobil hanya sampai disini kemudian
dilanjutkan dengan berjalan kaki. Memang ada dua pilihan untuk memasuki kawasan
Baduy, pertama melalui pintu masuk di Ciboleger dan yang kedua melalui Kenekes.
Sedangkan pintu masuk yang lain kemungkinan bisa saja ada, namun umumnya wisatawan
dianjurkan untuk lewat di kedua pintu masuk ini. Jika
melalui Kanekes meskipun lokasinya lebih jauh tapi setelah turun mobil, jalan
kakinya lebih dekat. “Setelah turun dari mobil, kita harus melanjutkan
perjalanan dengan berjalan kaki, kalau dari sini jalan kakinya lebih dekat,
hanya sekitar 5 kilometer tapi kalau lewat Ciboleger kita harus jalan kaki
lebih jauh lagi” kata Nung si pemandu wisata. Jarak itu menjadi jauh karena harus melewati
wilayah perkampungan baduy luar dan kawasan hutan selama kurang lebih sekitar empat
jam.
Anak-anak Baduy Dalam
Ketika
saya turun di parkiran, saya melihat ada deretan warung yang menawarkan
berbagai minuman dan jajanan. Ada juga bangunan yang dijadikan sebagai tempat
transit para wisatawan maupun warga Baduy. Saya melihat warga Baduy Dalam
didepan sebuah bangunan tradisional dengan pakaian nya yang khas sedang
duduk-duduk. Mungkin mereka sedang keluar wilayah bersama teman-temannya dan
melihat dunia luar. Ada juga beberapa anak Baduy berkumpul di depan sebuah
rumah, tak urung Nung si pemandu wisata menghampiri anak-anak itu dan minta
agar mereka mau difoto bersama-sama. Beberapa anak mau difoto tapi ada juga
yang malu dan masuk ke dalam.
Di
dinding bangunan tersebut Nampak tergantung papan berwarna hitam dengan tulisan
tentang amanat Buyut dengan menggunakan bahasa bahasa Sunda setempat. Agar
pengunjung dan masyarakat luar mengetahui arti padanan kata-katanya, maka
disebelahnya adalah terjemahan nya dalam bahasa Indonesia. Sedangkan arti
sesungguhnya tentu saja kita tidak mengetahui secara jelas arti yang sebenarnya
seperti tersirat dalam tulisan itu.
Tulisan itu dibaca sebentar lalu difoto dan kami semua mulai berjalan
mengikuti langkah Pemandu Wisata.
Berjalan
perlahan melalui sebuah jalan kecil atau boleh dikatakan sebagai gang yang
disebelah kirinya dipenuhi rumah, kami kemudian sampai di sebuah jembatan
bambu yang merupakan pintu masuk atau
akses jalan masuk ke Baduy Dalam. Setelah menyeberang jembatan sampailah kami
di sebuah bangunan seperti pos penjagaan, ada beberapa orang disitu dan mereka
mengatakan bahwa kami harus melapor dan mengisi buku tamu. Salah satu dari kami
melapor dan menulis di buku tamu, cukup satu perwakilan saja. Disebelah
bangunan pos tadi ada plang nama berwarna hijau dengan tulisan berwarna putih,
disitu tertulis kata-kata “Selamat Datang di Kawasan Baduy Desa Kanekes”. Yang
menarik dari tulisan disitu adalah kata-kata dibawahnya, “Jagalah Kebersihan,
bawa kembali sampah anda keluar Baduy”.
Melihat plang seperti itu, sebagai pengunjung tentu saja tidak
menyia-nyiakan kesempatan, segera bergantian untuk berfoto di depan plang
tersebut.
Jembatan bambu batas kampung dengan kawasan Baduy
Selesai
berfoto didepan plang “Selamat Datang” saya dan teman-teman kembali berjalan
menyusuri jalan tanah sambil sesekali melihat keatas, memperhatikan awan
mendung yang mengkhawatirkan kalau saja terjadi hujan tentu perjalanan ini akan
menjadi lebih sulit, selain jauh juga tentunya jalan menjadi becek. Hujan
gerimis dengan rintik-rintik kecil sempat terjadi, tapi kami bersyukur Karena rintik-rintik
hujan tadi segera sirna.
Nung
si Pemandu wisata mengatakan bahwa kami dilarang mengambil foto, jika ingin mengambil
foto baik bangunan rumah ataupun orang harus dilakukan dengan cepat. Dalam hati
saya mengatakan, “waduh ….. kalau ga boleh ambil foto, gimana jadinya
perjalanan tanpa dokumentasi”. Tapi saya tetap diam dan ikuti saja aturan yang
berlaku, mudah-mudahan nanti ada jalan keluar bagaimana caranya mendapatkan
foto-foto tentang suasana di perkampungan Baduy Dalam. Sayang sekali kalau
sampai tidak dapat fotonya.
Biasanya
setiap perjalanan saya selalu prepare
dan selalu membawa camera SLR, tapi
kali ini pergi berpetualang namun tanpa camera, namun untungnya saya siap
dengan camera selular phone dan juga “power bank” yang sudah terisi penuh
sebagai baterai cadangan. Meskipun tidak bawa camera tapi beban yang saya bawa
cukup berat, karena peralatan kerja turut dibawa dan tidak berani meninggalkan
tas kerja didalam mobil sewaan.
Berjalan
kaki dengan beban tas kerja serta lama tidak berjalan kaki, membuat kaki
langsung terasa pegal-pegal dan nafas terengah-engah. Apa daya …… hampir semua
teman juga mengalami hal yang sama. Sebelum mencapai perkampungan Baduy kami
banyak berhenti dan beristirahat. Karena melihat kami semua kepayahan, Nung
berinisiatif membantu saya dengan membawakan tas kerja. Lumayan agak terasa
ringan, sehingga saya bisa berjalan lebih cepat dibanding sebelumnya.
Rumah Suku Baduy Dalam
Setelah berjalan naik turun bukit
akhirnya kami melihat sebuah perkampungan, namun harus berjalan lagi menuruni
bukit, hingga mencapai sebuah tepi sungai. Untuk masuk ke perkampungan, kami harus
melewati sebuah jembatan bambu yang dibuat dengan konstruksi tertentu sehingga
kuat untuk dilewat meskipun tanpa paku dan hanya diikat dengan tali hitam yang
berasal dari tumbuhan. Jembatan bambu tersebut dilengkapi dengan pintu yang juga
terbuat dari bambu.
Setelah
melewati jembatan, maka sampailah di perkampungan Baduy Dalam. Kami berjalan
mengikuti Nung si Pemandu Wisata sampai ke tengah pemukiman, awalnya terlihat
sepi mungkin penghuninya sedang berladang, sehingga tidak melihat adanya
kesibukan atau aktivitas yang dilakukan, setelah di tengah perkampungan baru
terlihat adanya keramaian. Saya melihat ada banyak wisatawan disitu bahkan saya
juga melihat penjaja makanan kecil berupa jajanan juga digelar oleh pedagang.
Nung
membawa kami berlima ke salah satu rumah tempat tinggal pimpinan adat, yang
biasa dipanggil dengan Jaro. Kami masuk kedalam dan duduk di tikar yang digelar
dan kami juga disuguhi minuman air putih yang direbus di sudut rumah bagian belakang
yang bisa terlihat langsung dari bagian depan. Nung menyampaikan maksud dan
tujuan kami kepada Jaro bahwa seperti umumnya yang lain, kami hanya berwisata
karena perkampungan Baduy Dalam ini sudah sangat terkenal keberadaannya.
Jaro
tidak sungkan-sungkan menceritakan tentang keberadaan suku Baduy Dalam, bahkan
bersedia menjawab seluruh pertanyaan yang kami sampaikan. “Silahkan pak, tanya
apa saja informasi yang dibutuhkan, siapa tahu bapak ingin menulis tentang
Baduy Dalam?”, kata Nung meyakinkan kami semua. Saya sempat bertanya kepada
Jaro melalui Nung, apakah anak-anak Baduy yang dilarang bersekolah ini bisa
membaca? Jawabnya ternyata bisa, mereka belajar membaca melalui orang tua,
mengenal huruf dan angka melalui tulisan yang berasal dari berbagai bungkus
atau kemasan. Tulisan apapun yang ditemui diajarkan sehingga bisa mengerti,
termasuk bungkus makanan kesukaan seperti mie instant.
Jaro
dan puteranya
Foto
bersama dengan Jaro di teras rumah adat Baduy
Selain
Jaro sebenarnya ada lagi pemimpin adat yang lebih tinggi atau yang tertinggi
dalam masyarakat Baduy ini, yakni Pu'un. Jabatan sebagai Pu’un ini sudah
berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, tetapi bisa
juga kerabat lainnya. Sedangkan untuk masa jabatan sebagai Pu'un, tidak ditentukan secara jelas dan
hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut. Menurut
Nung, tidak setiap pengunjung yang datang bisa ketemu dengan Pu’un, Menurutnya hanya mereka yang
mempunyai maksud-maksud “khusus” yang bisa bertemu. Kalau hanya datang sebagai
wisatawan seperti kita sekarang ini, kita tidak bisa ketemu Pu’un, tetapi bisa bertemu dengan Jaro,
karena fungsi Jaro memang salah satu nya untuk menerima tamu dari luar.
Menurut
Jaro, masyarakat Baduy Dalam pada dasarnya terbagi atas tiga berdasarkan
lokasi, yakni Cibeo, Cikeusik, dan Cikartawana. Mata
pencahariannya adalah berladang atau bertani dan mengelola kebun serta lahan
yang seluruhnya tampak subur dan berlimpah. Ketika menggarap kebun atau lahan
masyarakat Baduy tidak menggunakan kerbau ataupun sapi, karena hewan yang boleh
dipelihara hanya ada tiga jenis. Ayam
untuk dikonsumsi, anjing untuk menjaga kebun dan kucing untuk menjaga dari
serangan hama tikus.
Masyarakat
Baduy juga sangat peduli dalam menjaga lingkungan dan melestarikan alam,
termasuk juga ketika mereka membangun rumah harus memperhatikan faktor
keseimbangan dengan alam. Sebagai contoh ketika ingin membangun rumah tapi kontur
tanah yang miring, tanah ini tidak boleh digali ataupun diratakan, sehingga
tiang-tiang penyangga rumah terpaksa harus dibuat tidak sama panjangnya. Ini
dilakukan dalam rangka menjaga alam yang selama ini sudah memberikan kehidupan.
Bersama
anak perempuan Baduy
Hingga
saat ini, pengunjung yang datang ke Baduy jumlahnya semakin meningkat, meskipun
tidak tahu pasti jumlah yang sebenarnya, tapi dari keramaian yang ada serta
jumlah kendaraan yang datang hal itu bisa dijadikan ukuran. Belum lagi bila
diukur dari penggunaan jasa pemandu wisata, semakin sering pemandu wisata
seperti Nung ini mendapatkan permintaan, itu berarti semakin banyak pengunjung
yang datang. Pengunjung dapat juga bermalam di perumahan Baduy ini, tentu saja
dengan ketentuan harus mentaati aturan atau adat istiadat yang berlaku. Aturan
adat itu antara lain tidak boleh berfoto, tidak boleh menggunakan sabun, pasta
gigi, shampo dan berbagai produk industry lainnya. Selain itu, sampai sekarang
wilayah Baduy Dalam tetap terlarang bagi orang asing.
Sebelum
masuk ke Baduy sebenarnya saya dan juga teman-teman sempat bertanya kepada
masyarakat, apakah perlu kita membawa barang barter seperti ikan asin, garam
atau barang lainnya ? siapa tahu sistem barter masih digunakan di lingkungan
masyarakat Baduy, ternyata tidak, karena sekarang ini masyarakat Baduy sudah
mengenal alat pembayaran. Memang perdagangan di masa lampu dilakukan secara
barter, namun sekarang sudah menggunakan mata uang rupiah. Masyarakat Baduy
Dalam menjual hasil kebun, mulai dari buah-buahan, madu hingga gula aren, dan
sebaliknya mereka juga membeli beberapa kebutuhan di pasar-pasar di luar
wilayah Baduy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar