Perjalanan ke Baduy Dalam (2)


Hari semakin sore, langit terlihat mendung dan kami hanya bisa berharap semoga hujan tidak turun dengan cepat. Setelah mobil berhenti, kami satu persatu turun dari mobil sewaan. Pemandu wisata mengatakan bahwa kita sudah sampai diperbatasan dengan Baduy Dalam di desa Cijahe, semua mobil hanya sampai disini kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki. Memang ada dua pilihan untuk memasuki kawasan Baduy, pertama melalui pintu masuk di Ciboleger dan yang kedua melalui Kenekes. Sedangkan pintu masuk yang lain kemungkinan bisa saja ada, namun umumnya wisatawan dianjurkan untuk lewat di kedua pintu masuk ini. Jika melalui Kanekes meskipun lokasinya lebih jauh tapi setelah turun mobil, jalan kakinya lebih dekat. “Setelah turun dari mobil, kita harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, kalau dari sini jalan kakinya lebih dekat, hanya sekitar 5 kilometer tapi kalau lewat Ciboleger kita harus jalan kaki lebih jauh lagi” kata Nung si pemandu wisata. Jarak itu menjadi jauh karena harus melewati wilayah perkampungan baduy luar dan kawasan hutan selama kurang lebih sekitar empat jam. 

Anak-anak Baduy Dalam

Ketika saya turun di parkiran, saya melihat ada deretan warung yang menawarkan berbagai minuman dan jajanan. Ada juga bangunan yang dijadikan sebagai tempat transit para wisatawan maupun warga Baduy. Saya melihat warga Baduy Dalam didepan sebuah bangunan tradisional dengan pakaian nya yang khas sedang duduk-duduk. Mungkin mereka sedang keluar wilayah bersama teman-temannya dan melihat dunia luar. Ada juga beberapa anak Baduy berkumpul di depan sebuah rumah, tak urung Nung si pemandu wisata menghampiri anak-anak itu dan minta agar mereka mau difoto bersama-sama. Beberapa anak mau difoto tapi ada juga yang malu dan masuk ke dalam.

Di dinding bangunan tersebut Nampak tergantung papan berwarna hitam dengan tulisan tentang amanat Buyut dengan menggunakan bahasa bahasa Sunda setempat. Agar pengunjung dan masyarakat luar mengetahui arti padanan kata-katanya, maka disebelahnya adalah terjemahan nya dalam bahasa Indonesia. Sedangkan arti sesungguhnya tentu saja kita tidak mengetahui secara jelas arti yang sebenarnya seperti tersirat dalam tulisan itu.  Tulisan itu dibaca sebentar lalu difoto dan kami semua mulai berjalan mengikuti langkah Pemandu Wisata. 


Berjalan perlahan melalui sebuah jalan kecil atau boleh dikatakan sebagai gang yang disebelah kirinya dipenuhi rumah, kami kemudian sampai di sebuah jembatan bambu  yang merupakan pintu masuk atau akses jalan masuk ke Baduy Dalam. Setelah menyeberang jembatan sampailah kami di sebuah bangunan seperti pos penjagaan,  ada beberapa orang disitu dan mereka mengatakan bahwa kami harus melapor dan mengisi buku tamu. Salah satu dari kami melapor dan menulis di buku tamu, cukup satu perwakilan saja. Disebelah bangunan pos tadi ada plang nama berwarna hijau dengan tulisan berwarna putih, disitu tertulis kata-kata “Selamat Datang di Kawasan Baduy Desa Kanekes”. Yang menarik dari tulisan disitu adalah kata-kata dibawahnya, “Jagalah Kebersihan, bawa kembali sampah anda keluar Baduy”.  Melihat plang seperti itu, sebagai pengunjung tentu saja tidak menyia-nyiakan kesempatan, segera bergantian untuk berfoto di depan plang tersebut.

Jembatan bambu batas kampung dengan kawasan Baduy


Selesai berfoto didepan plang “Selamat Datang” saya dan teman-teman kembali berjalan menyusuri jalan tanah sambil sesekali melihat keatas, memperhatikan awan mendung yang mengkhawatirkan kalau saja terjadi hujan tentu perjalanan ini akan menjadi lebih sulit, selain jauh juga tentunya jalan menjadi becek. Hujan gerimis dengan rintik-rintik kecil sempat terjadi, tapi kami bersyukur Karena rintik-rintik hujan tadi segera sirna.     

Nung si Pemandu wisata mengatakan bahwa kami dilarang mengambil foto, jika ingin mengambil foto baik bangunan rumah ataupun orang harus dilakukan dengan cepat. Dalam hati saya mengatakan, “waduh ….. kalau ga boleh ambil foto, gimana jadinya perjalanan tanpa dokumentasi”. Tapi saya tetap diam dan ikuti saja aturan yang berlaku, mudah-mudahan nanti ada jalan keluar bagaimana caranya mendapatkan foto-foto tentang suasana di perkampungan Baduy Dalam. Sayang sekali kalau sampai tidak dapat fotonya.


Biasanya setiap perjalanan saya selalu prepare dan selalu membawa camera SLR, tapi kali ini pergi berpetualang namun tanpa camera, namun untungnya saya siap dengan camera selular phone dan juga “power bank” yang sudah terisi penuh sebagai baterai cadangan. Meskipun tidak bawa camera tapi beban yang saya bawa cukup berat, karena peralatan kerja turut dibawa dan tidak berani meninggalkan tas kerja didalam mobil sewaan.
Berjalan kaki dengan beban tas kerja serta lama tidak berjalan kaki, membuat kaki langsung terasa pegal-pegal dan nafas terengah-engah. Apa daya …… hampir semua teman juga mengalami hal yang sama. Sebelum mencapai perkampungan Baduy kami banyak berhenti dan beristirahat. Karena melihat kami semua kepayahan, Nung berinisiatif membantu saya dengan membawakan tas kerja. Lumayan agak terasa ringan, sehingga saya bisa berjalan lebih cepat dibanding sebelumnya. 


Rumah Suku Baduy Dalam

Setelah berjalan naik turun bukit akhirnya kami melihat sebuah perkampungan, namun harus berjalan lagi menuruni bukit, hingga mencapai sebuah tepi sungai. Untuk masuk ke perkampungan, kami harus melewati sebuah jembatan bambu yang dibuat dengan konstruksi tertentu sehingga kuat untuk dilewat meskipun tanpa paku dan hanya diikat dengan tali hitam yang berasal dari tumbuhan. Jembatan bambu tersebut dilengkapi dengan pintu yang juga terbuat dari bambu. 


Setelah melewati jembatan, maka sampailah di perkampungan Baduy Dalam. Kami berjalan mengikuti Nung si Pemandu Wisata sampai ke tengah pemukiman, awalnya terlihat sepi mungkin penghuninya sedang berladang, sehingga tidak melihat adanya kesibukan atau aktivitas yang dilakukan, setelah di tengah perkampungan baru terlihat adanya keramaian. Saya melihat ada banyak wisatawan disitu bahkan saya juga melihat penjaja makanan kecil berupa jajanan juga digelar oleh pedagang. 

Nung membawa kami berlima ke salah satu rumah tempat tinggal pimpinan adat, yang biasa dipanggil dengan Jaro. Kami masuk kedalam dan duduk di tikar yang digelar dan kami juga disuguhi minuman air putih yang direbus di sudut rumah bagian belakang yang bisa terlihat langsung dari bagian depan. Nung menyampaikan maksud dan tujuan kami kepada Jaro bahwa seperti umumnya yang lain, kami hanya berwisata karena perkampungan Baduy Dalam ini sudah sangat terkenal keberadaannya. 

Jaro tidak sungkan-sungkan menceritakan tentang keberadaan suku Baduy Dalam, bahkan bersedia menjawab seluruh pertanyaan yang kami sampaikan. “Silahkan pak, tanya apa saja informasi yang dibutuhkan, siapa tahu bapak ingin menulis tentang Baduy Dalam?”, kata Nung meyakinkan kami semua. Saya sempat bertanya kepada Jaro melalui Nung, apakah anak-anak Baduy yang dilarang bersekolah ini bisa membaca? Jawabnya ternyata bisa, mereka belajar membaca melalui orang tua, mengenal huruf dan angka melalui tulisan yang berasal dari berbagai bungkus atau kemasan. Tulisan apapun yang ditemui diajarkan sehingga bisa mengerti, termasuk bungkus makanan kesukaan seperti mie instant.

Jaro dan puteranya

Foto bersama dengan Jaro di teras rumah adat Baduy

Selain Jaro sebenarnya ada lagi pemimpin adat yang lebih tinggi atau yang tertinggi dalam masyarakat Baduy ini, yakni  Pu'un. Jabatan sebagai Pu’un ini sudah berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, tetapi bisa juga kerabat lainnya. Sedangkan untuk masa jabatan sebagai Pu'un, tidak ditentukan secara jelas dan hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut. Menurut Nung, tidak setiap pengunjung yang datang bisa ketemu dengan Pu’un, Menurutnya hanya mereka yang mempunyai maksud-maksud “khusus” yang bisa bertemu. Kalau hanya datang sebagai wisatawan seperti kita sekarang ini, kita tidak bisa ketemu Pu’un, tetapi bisa bertemu dengan Jaro, karena fungsi Jaro memang salah satu nya untuk menerima tamu dari luar.
Menurut Jaro, masyarakat Baduy Dalam pada dasarnya terbagi atas tiga berdasarkan lokasi, yakni Cibeo, Cikeusik, dan Cikartawana. Mata pencahariannya adalah berladang atau bertani dan mengelola kebun serta lahan yang seluruhnya tampak subur dan berlimpah. Ketika menggarap kebun atau lahan masyarakat Baduy tidak menggunakan kerbau ataupun sapi, karena hewan yang boleh dipelihara hanya ada tiga jenis.  Ayam untuk dikonsumsi, anjing untuk menjaga kebun dan kucing untuk menjaga dari serangan hama tikus.
Masyarakat Baduy juga sangat peduli dalam menjaga lingkungan dan melestarikan alam, termasuk juga ketika mereka membangun rumah harus memperhatikan faktor keseimbangan dengan alam. Sebagai contoh ketika ingin membangun rumah tapi kontur tanah yang miring, tanah ini tidak boleh digali ataupun diratakan, sehingga tiang-tiang penyangga rumah terpaksa harus dibuat tidak sama panjangnya. Ini dilakukan dalam rangka menjaga alam yang selama ini sudah memberikan kehidupan.
Bersama anak perempuan Baduy

Hingga saat ini, pengunjung yang datang ke Baduy jumlahnya semakin meningkat, meskipun tidak tahu pasti jumlah yang sebenarnya, tapi dari keramaian yang ada serta jumlah kendaraan yang datang hal itu bisa dijadikan ukuran. Belum lagi bila diukur dari penggunaan jasa pemandu wisata, semakin sering pemandu wisata seperti Nung ini mendapatkan permintaan, itu berarti semakin banyak pengunjung yang datang. Pengunjung dapat juga bermalam di perumahan Baduy ini, tentu saja dengan ketentuan harus mentaati aturan atau adat istiadat yang berlaku. Aturan adat itu antara lain tidak boleh berfoto, tidak boleh menggunakan sabun, pasta gigi, shampo dan berbagai produk industry lainnya. Selain itu, sampai sekarang wilayah Baduy Dalam tetap terlarang bagi orang asing. 
 

Sebelum masuk ke Baduy sebenarnya saya dan juga teman-teman sempat bertanya kepada masyarakat, apakah perlu kita membawa barang barter seperti ikan asin, garam atau barang lainnya ? siapa tahu sistem barter masih digunakan di lingkungan masyarakat Baduy, ternyata tidak, karena sekarang ini masyarakat Baduy sudah mengenal alat pembayaran. Memang perdagangan di masa lampu dilakukan secara barter, namun sekarang sudah menggunakan mata uang rupiah. Masyarakat Baduy Dalam menjual hasil kebun, mulai dari buah-buahan, madu hingga gula aren, dan sebaliknya mereka juga membeli beberapa kebutuhan di pasar-pasar di luar wilayah Baduy.

Hari makin sore, matahari juga sudah mulai tidak terlihat karena tertutup awan mendung, saya dan teman-teman lalu berpamitan dan meninggalkan rumah Jaro untuk kembali ke kampung Cijahe. Ketika berjalan meninggalkan perkampungan saya masih melihat beberapa pengunjung masih tetap disana dan tidak beranjak pergi, mungkin mereka adalah bagian dari pengunjung yang ingin bermalam disitu. Nung bilang kita juga bisa menginap disitu, nanti makanan dan minuman disediakan oleh warga Baduy, tapi yang jelas tidak ada listrik, tidak ada TV dan juga tidak ada kamar mandi (repot juga ya…?). Sebelum berjalan meninggalkan lokasi, teman-teman mendatangi beberapa anak perempuan Baduy yang sedang duduk di depan rumah dan mengajaknya berfoto, dan beruntungnya mereka mau. Setelah berfoto, kami berlima kemudian menuju jembatan bambu keluar dari perkampungan dan berjalan menyusuri jalan tanah jalan yang tadi kami lalui waktu datang. Mudah-mudahan selama berjalan kaki sejauh kurang lebih 5 kilometer hingga ke kampung Cijahe hujan tidak turun.  (Okt 2016)***



Tidak ada komentar:

Posting Komentar