Sebentar lagi saat nya makan siang, jadi perlu
rasanya eksplore keliling kota mencari tempat kuliner yang sesuai dengan
selera. Tapi saya ingat bahwa ada seorang teman yang orang tuanya buka usaha
warung makan di pinggiran kota Purwokerto, katanya sih buka usaha warung sate
dan lokasinya tidak terlalu jauh dari tempat saya menginap. Kalau mau kesana
bisa menggunakan ojek atau taksi online dengan tarif yang tidak terlalu mahal.
Siang itu saya keluar dari lobby hotel Java
Heritage, jalan kaki kearah pintu gerbang dan menunggu ojek online yang
akan mengantar saya ke warung sate. Tak lama menunggu sepeda motor ojek online
pun datang menghampiri saya dan langsung menanyakan nama saya apakah sesuai
dengan nama pemesan seperti yang tertera pada aplikasi. Betul sekali ……., saya
lah yang memesan. “tolong diantar ke warung sate Sawunggalih ya? Tahu kan
tempatnya?” kata saya. “ya pak, saya tahu” jawab si pengendara ojek.
Warung
sate Sawunggalih Banaran
Sepeda motor yang saya naiki dari depan hotel
meluncur kearah barat sepanjang jalan Dr. Angka, ketika sampai pertigaan RSUD
Margono Soekarjo (Paviliun Abiyasa Unit Geriatri) kemudian belok kiri kearah
jalan A.Yani. Sampai di pertigaan lampu merah Kodim Banyumas di Jl. Jend.
Soedirman, sepeda motor belok kanan hingga melalui underpass rel kereta api di
jalan raya Bamiayu – Purwokerto. Setelah melalui underpass atau terowongan, sepeda
motor berjalan lurus kearah barat, tak sampai 5 menit warung satenya ada di
sebelah kiri jalan, Namanya “Warung Sate Sawunggalih Banaran”
menu makanan yang ditawarkan
Nasi sate sawunggalih
Setelah sampai di depan warung
sate, saya segera masuk dan duduk seperti pengunjung lainnya. Sambil duduk, saya
mengamati sekeliling ruangan, saya lihat ruang makannya relatif cukup luas yang
diperkirakan bisa menampung sekitar 80 pengunjung sekaligus. Meja kursinya dari
kayu dan ada sebagian mejanya dilapisi melamin. Sementara dapurnya berada di
depan sebelah kanan, termasuk tempat pembakaran satenya juga di depan sebelah
kanan.
Saya duduk di sebelah kanan
menghadap kearah luar, agak sedikit mojok mendekati ruangan dapur. Tak lama
datang seorang laki-laki menanyakan apa pesanan yang saya inginkan. Saya pesan
sate satu porsi dengan nasi dan minumnya teh tawar panas, kata saya singkat.
Sesaat setelah pergi tak lama kemudian orang tersebut datang dengan membawa
pesanan yang saya minta. Wah….. cepat sekali, baru saja pesan sudah langsung
tersedia. Mungkin …… pada jam siang seperti ini satenya dibakar dalam jumlah
banyak sehingga siapa saja yang pesan langsung siap.
Awalnya saya agak kaget,
satenya berukuran lebih kecil dari umumnya sate yang biasa saya beli, atau
boleh dibilang ukuran nya minimalis. Tidak apalah, kalau kurang bisa tambah
lagi, pikir saya. Karena sudah tersedia dimeja, saya mulai mencicipi satenya
satu persatu sampai beberapa tusuk. Lho ….. mencicipi ko sampai beberapa tusuk
sih? Hehehe ……bumbunya enak, dan sebelum menyantap yang berikutnya, saya segera
memesan satu porsi lagi. Jadi saya makan
sate dua porsi, mantab.
Warung sate ini lumayan rame,
bahkan boleh dibilang sangat ramai terutama pada jam-jam makan siang. Karena
tempatnya terbatas, maka banyak diantaranya yang dibungkus dan dibawa pulang. Apalagi
masakan disini lumayan enak, tak salah jika pelanggannya sudah banyak karena
sudah ada sejak puluhan tahun lalu, yakni sejak pertama didirikan pada tahun
1976 oleh pak Sahri
Awalnya, sebelum membuka
warung sate, pak Sahri adalah pedagang kambing. Usahanya ini dimulai sejak kecil
ketika dia masih sekolah dan harus membawa kambing ke alun-alun untuk mengantarkan
pesanan orang. Karena sering mengantarkan kambing akhirnya jadi tahu seluk
beluk perdagangan kambing. Meskipun usahanya sempat terhenti karena malu diejek
teman-teman nya di sekolah dengan kata-kata bau kambing, maka dari situ pak
Sahri tidak mau lagi anter kambing tetapi justru ingin buka warung sate kambing.
Pertama kali berjualan sate,
pak Sahri jualan keliling dengan menggunakan pikulan, dan baru membuka warung setelah
menyewa sebidang tanah di tepi jalan raya. Seiring dengan berjalannya waktu,
karena pelanggannya semakin banyak akhirnya diminta untuk membeli lahan yang
ditempati tersebut, bahkan dari tahun ke tahun warungnya terus melebar hingga
seperti sekarang ini.
Awalnya, warung ini memotong sekitar
20 ekor kambing balibul setiap harinya, kata mas Rudi putera bungsu pak Sahri
yang saya temuai selang sehari kemudian. Tapi karena kesulitan memperoleh
kambing kecil, akhirnya diganti dengan kambing besar sebanyak 3 hingga 4 ekor
perharinya. Menurutnya, dari 1 ekor kambing ukuran besar bisa diperoleh
sebanyak 1.200 tusuk atau 120 porsi sate, dan juga gule sebanyak 50 porsi.
Selain sate, di warung ini
sebenarnya masih banyak menu lain yang dapat dapat dipesan, seperti ayam
goreng, ayam bakar, gule kambing, sop sapi, nasi goreng kambing, pepes ayam
kampung, gule tulang, dan gule kaki kambing. Sedangkan untuk harganya, untuk sate
dihargai sebesar 16.000 Rupiah, nasi Rp. 4.000 sehingga harga 1 porsi nasi
dengan sate menjadi Rp.20.000. Sementara untuk gule dijual seharga Rp.12.000,-
dan minuman berupa es teh dihargai Rp,1.000,-.
Setelah jam makan
siang usai, pengunjung yang awalnya ramai kini berangsur-angsur mulai
meninggalkan ruang makan, dan hanya beberapa tamu saja yang terlihat masih
menikmati makan siangnya. Begitu juga saya yang sudah merasa kenyang dengan dua
porsi sate, segera membayar dan beranjak keluar mencari taksi online untuk
kembali ke hotel, pesannya taksi online tapi yang datang ternyata taksi biasa, tidak
masalah pak, harganya sama, kata sopirnya.
(September 2019)***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar