Melihat Sisa-Sisa Lumpur Lapindo



Siang hari di kawasan lumpur Lapindo sangat panas, namun rasa penasaran ingin melihat lumpur Lapindo benar-benar mendorong keinginan mengunjungi dan melihat seperti apa lumpur Lapindo yang sebenarnya. Jika selama ini hanya melihat di berbagai pemberitaan baik di media cetak maupun elektronik, maka kini giliran melihat secara langsung. Meskipun kondisinya tentu sudah jauh berbeda dengan kondisi beberapa tahun lalu, namun kesempatan untuk dapat melihat lumpur Lapindo baru dapat terlaksana. Tak apalah yang penting sudah melihat meskipun sebagian lumpur sudah mengering dan tidak menjadi berita seperti sebelumnya.

Tak jauh dari pintu tol Surabaya-Sidoarjo, sudah terlihat tanggul yang tinggi seperti gundukan tanah yang membentang dari utara hingga ke selatan, entar berapa ratus meter atau berapa kilometer saya tidak tahu persis, namun dengan tanggul yang tinggi tersebut saya tidak bisa melihat lumpur nya. Mungkin dibalik tanggul itu pikir saya dalam hati. Kendaraan yang saaya tumpangi berhenti di pinggir jalan raya di sebelah kendaraan lain yang juga parkir bersebelahan sesama pengunjung siang itu. Begitu kita meminggirkan kendaraan kita sudah disambut oleh tukang parkir agar parkir di tempat yang dia inginkan dan diarahkan untuk menuju wisata lumpur Lapindo.

Setelah parkir diantara jalan raya dan rel kereta api, turun dan menyeberang rel untuk mendaki tanggul, namun harus melalui sebuah parit saluran air dengan jembatan darurat yang terbuiat dari kayu ala kadarnya, setelah itu mendaki keatas tanggul dengan melalui tangga2 darurat yang terbuat dari kayu yang sama, bahkan dibeberapa susunan tangga tersebut sangat membayakan pengunjung bila tidak berhati-hati menapaki anak tangga.

Kondisi anak tangga yang rusak


Setiap pengunjung yang datang dikenai biaya sebesar RP.30.000,- per orang tanpa kecuali, bahkan ketika ada yang menawar pun, masyarakat yang menjaga disitu tampak keberatan, katanya untuk biaya membuat tangga. Setelah membayar sesuai dengan harga yang diminta saya menaiki anak tangga satu persatu dengan hati-hati agar tidak terjatuh atau terjeblos pada anak tangga yang sudah rusak.
 
Pengunjung membayar lebih dahulu sebelum naik tangga 

Tanggul Lumpur Lapindo

Rasa penasaran terhadap lumpur Lapindo pun mulai berangsur-angsur menghilang, ketika sudah sampai diatas tanggul, tak terlihat lumpur melainkan hanya tanah kering yang gersang tanpa pepohonan yang membuat hawa semakin panas. Tidak ada bangunan ataupun tempat berteduh, kecuali pangkalan ojek yang menjadi satu-satunya tempat untuk mengurangi panas yang menyengat.

Pangkalan Ojek di kawasan Lumpur Lapindo
 

Karena disitu tidak ada lumpur atau aktivitas lumpur aktif yang berasap seperti biasa dilihat di pemberitaan televisi, para tukang ojekpun segera menawarkan untuk mengantar pengunjung mendekati lumpur yang tidak terlihat sama sekali oleh para pengunjung. Lumpurnya ada di tengah-tengah, dan untuk melihatnya harus menggunakan ojek sepeda motor, karena panas siang itu sangat terik, saya mengurungkan niat melihat lumpur yang masih cair dan aktif, cukup disini sajalah pikirku, sambil berlindung di bawah gubug tempat para tukang ojeg mangkal. Karena banyak pengunjung yang tidak ingin ke tengah melihat lumpur, maka tukang ojek yang lain menawarkan VCD tentang lumpur Lapindo seharga Rp.50.000,- katanya sebagai pengganti penggandaan dan sekaligus meringankan penderitaan mereka yang katanya mengalami kesulitan hidup dengan adanya peristiwa “Lumpur Lapindo”. 


  
Pengunjung diatas lumpur yang mengering

 
 Lumpur Lapindo yang sudah kering


  
Setelah berada dikawasan lumpur Lapindo selama kurang lebih 30 menit, saya menutuskan untuk turun menuju tempat parkir. Selain panas matahari disiang itu cukup menyengat dan tidak adanya tempat berteduh yang lebih nyaman dibanding pangkalan ojek, saya dan juga pengunjung lainnya  tidak bisa bertahan lebih lama. Sama seperti pengunjung umumnya yang datang pada hari itu, saya juga berfikir sama, yang penting sudah sampai di kawasan lumpur Lapindo, sudah sampai dan sudah melihat lumpurnya meskipun sebagian sudah mengering. (Juni 2015)***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar