Pertengahan
Juni 2017 lalu, saya secara kebetulan
mendapat kesempatan untuk mengunjungi kota Padang dalam rangka pelaksanaan tugas pekerjaan selama tiga hari. Karena waktunya begitu
singkat, tentu saja saya tidak sempat mengunjungi
berbagai obyek wisata terkenal di Sumatera Barat seperti jam gadang ataupun lubang Jepang di Bukittinggi, apalagi untuk mengunjungi Lembah Anai, danau Singkarak
ataupun danau Maninjau, rasanya belum memungkinkan untuk saat itu. Karena
adanya keterbatasan waktu, maka saya memutuskan untuk berkeliling di seputar kota
Padang saja, dan memilih lokasi yang pas, dekat dan mudah dicapai.
Dari
bandara Minangkabau saya menggunakan jasa
rental mobil yang
biasa digunakan oleh para wisatawan yang berkunjung ke Sumatera Barat. Kebetulan
ada seorang teman yang pernah menggunakan jasa mobil rental di Padang, maka
saya dipesankan sebuah kendaraan jenis Avanza agar bisa saya gunakan selama
berada di Padang. Tarifnya sekitar Rp.400 ribu per hari dan sudah
harus dipesan sejak dari Jakarta, karena kunjungan saya kali ini sudah menjelang perayaan
Hari Raya Idul Fitri, tentu sudah
banyak tamu yang datang dari luar daerah dan menyewa mobil. Sesampainya di bandara
tujuan pengemudi memberitahu saya bahwa mobil yang digunakan adalah mobil yang
lebih besar yakni jenis Innova.
Awalnya saya agak sedikit kaget kenapa pesanannya berubah?
Wah...bisa jadi lebih mahal nih, pikir saya. Namun belum sempat saya bertanya,
pengemudi mengatakan meskipun tarif mobil yang lebih besar itu lebih mahal, namun ternyata
tidak dikenakan biaya tambahan, karena mobil yang dipesan sedang menjalani
service rutin sehingga diganti dengan mobil yang lain, katanya.
Gedung utama museum
Setelah
saya naik, Kendaraanpun segera meluncur meninggalkan areal bandara, dan
pengemudi menanyakan apakah saya akan langsung menuju ke tempat penginapan atau
ke tempat lain?. “Bapak mau langsung ke hotel?” Tanyanya.
Sebelum menjawab pertanyaannya, saya berfikir sejenak,
berhitung dengn waktu agar lebih efektif dan efisien, maka saya tanya balik, “Pak,
perjalanan kita ini dari arah bandara, akan melalui penginapan dulu atau museum
dulu?” Pengemudi segera menjawab “Museum Adityawarman ya pak, kalau dari sini museum dulu pak” jawabnya. Terjawab
sudah, “OK pak,
kalau begitu kita mampir ke Museum”.
Loket
penjualan tiket masuk
Setelah
melalui perjalanan kurang lebih selama 30 menit mobil yang saya naiki mulai
memasuki kota Padang, entah sudah berapa kali belak belok di dalam kota Padang akhirnya
sampai dan masuk ke halaman parkir museum. Hanya ada dua buah kendaraan
terparkir disana dan museum terlibat sangat sepi, seolah tidak ada pengunjung
yang datang pada siang itu. Apakah karena hari kerja sehingga sepi pengunjung ?
mungkin saja, mudah-mudahan tidak demikian di hari-hari besar dan libur
lainnya.
Monumen pesawat
Setelah
membeli karcis atau tiket masuk, saya berjalan menyusuri halaman menuju gedung
museum. Saya berhenti sebentar didepan papan yang menjelaskan tentang denah
museum, saya perhatikan dan ternyata museum juga dilengkapi dengan berbagai
fasiilitas umum lainnya seperti arena bermain, monumen pesawat, tugu, toilet
umum, toilet disabilitas, ruang menyusui, studio mini, cafe, musholla, dan juga
perpustakaan. Kemudian saya berjalan menuju tugu dan masuk ke gedung ruang
pameran utama.
Museum Adityawarman ini menyajikan sejarah, budaya, dan berbagai kearifan
lokal masyarakat Sumatera Barat. Sedangkan pengunaan nama Adityawarman merujuk pada nama
besar Raja Minangkabau yang berkuasa sekitar abad ke 14 lalu. Bahkan beberapa
literatur juga menyebutkan bahwa nama
museum ini diambil dari nama salah satu Raja Minangkabau yang berasal dari trah kebangsawanan
Majapahit yang diperkirakan berkuasa pada era yang sama
dengan periode sejarah saat Gajah Mada menjabat sebagai Mahapatih pada Tahun 1334-1364 Masehi.
Ruang utama museum
Museum Adityawarman berdiri di diatas lahan seluas 2,6 hektar, dengan luas bangunan sekitar 2.855
meter persegi dan dibangun dengan mengambil inspirasi arsitektur dari rumah
bagonjong atau rumah gadang yang merupakan ciri khas gaya arsitektur
tradisional Minangkabau. Museum ini dibangun pada tahun 1974 dan selesai pada tahun 1977 yang kemudian diresmikan oleh
Mendikbud Prof. Dr. Sjarif Thayeb pada 16 Maret 1977, dan sejak tahun 2001 status Museum
Adityawarman secara resmi dikelola oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumatera Barat. Saat ini, Museum Adityawarman merupakan museum budaya terpenting di
Sumatera Barat yang berfungsi sebagai
tempat menyimpan dan melestarikan benda-benda bersejarah termasuk juga seluk
beluk kebudayaan khas Minang, mulai dari pakaian adat hingga alat-alat musik
tradisional.
Ruang utama nya menampilkan gambar dan diagram yang
menggambarkan sistem adat yang dimiliki oleh masyarakat Minang. Melalui gambar yang
menempel di dinding, terlihat berbagai
penjelasan tentang hubungan kekerabatan dalam adat
Minangkabau. Jika di daerah lain di Indonesia yang umumnya menganut
sistem kekerabatan patrilineal, maka di Minangkabau justru kebalikannya,
yakni
menggunakan sistem matrilineal sehingga perempuan memegang pengaruh kuat di
Minangkabau.
Museum juga menampilkan berbagai kegiatan kaum
perempuan Minang, mulai dari aktivitas rumah tangga
seperti mengasuh
anak, memasak, dan juga dibidang kesenian, yang semuanya dipaparkan secara jelas dan
mudah dipahami. Kegiatan kesenian dalam budaya Minangkabau ini, banyak
ditampilkan dalam upacara-upacara adat, salah satunya adalah upacara
pernikahan. Sehingga disalah satu ruangan sisi sebelah
kanan museum terdapat ruang peragaan pelaminan yang didominasi oleh
warna merah lengkap dengan meja kursi dan juga kamar tidurnya.
Pelaminan Minangkabau
Perhiasan Luhak Agam
Museum ini merupakan salah satu museum terpenting yang
mengangkat sejarah masyarakat dan kebudayaan Minangkabau, yakni peninggalan mereka sejak masa prasejarah hingga era modern.
Disini kita dapat mengenal berbagai pernak-pernik kehidupan masyarakat yang bisa kita lihat dari koleksi yang dimilikinya. Selain
itu juga terdapat berbagai peninggalan sejarah lainnya, seperti berbagai jenis
perhiasan dan kerajinan gerabah. Budaya gerabah ini merupakan salah satu
penanda periode pengumpulan makanan yang terjadi sebelum fase bercocok tanam.
Pada zamannya, selain digunakan untuk mengumpulkan makanan juga digunakan untuk acara ritual
keagamaan. Kerajinan gerabah merupakan salah satu kerajinan tertua yang
dimiliki masyarakat Minangkabau, yang berkembang di daerah Galo Gandang, Lima
Puluh Kota dan Sungai Janiah Agam yang diwariskan secara turun temurun.
Tiket masuk museum
Nah, bagi anda yang kebetulan berkunjung ke Padang, baik dalam rangka berwisata, mengunjungi
keluarga ataupun juga kunjungan kerja, mungkin tidak ada salahnya bila mampir dan berwisata sejenak ke
Museum Adityawarman ini. Letaknya cukup strategis karena berada
dipusat kota Padang tepatnya di Jalan
Diponegoro No. 10 Kelurahan Belakang Tangsi, Kecamatan Padang Barat, Kota
Padang. Harga tiket masuknya relatif sangat murah yakni hanya
seharga Rp.3000 untuk pengunjung dewasa dan Rp.2000 untuk anak-anak. (Juni 2017)***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar