Cafe Karambia Padang


Sebuah cafe dengan tema alam tentunya sangat menarik, terlebih lagi bila keberadaan cafe tersebut juga dalam rangka pelestarian cagar budaya atau pelestarian sebuah gedung lama yang mempunyai nilai sejarah. Tapi terlepas dari pendapat itu, di Kota Padang terdapat sebuah cafe dengan nama “Karambia” yang dalam bahasa minang Karambia itu berarti kelapa. Nah, kelihatannya cafe ini mengusung tema kelapa. Pada bulan Juni 2017 lalu tepatnya saat bulan Ramadhan saya diajak teman yang hobby jip offroad untuk berbuka puasa di cafe Karambia ini. Mau dengar ceritanya? Silahkan dibaca sampai tuntas ya....


Café Karambia Padang

Karambia, cafe & hang out

Sore itu, setelah saya diajak keliling kota hingga ke kawasan Gunung Padang dengan menggunakan mobil Jimny 4x4 miliknya, saya diajak ke sebuah cafe untuk istirahat, karena jam sudah mendekati waktu berbuka puasa.  Cafe itu bernama “Karambia, cafe and hang out” menempati sebuah gedung berarsitektur klasik dikawasan Muaro, atau kawasan kota lama yang dipenuhi gedung-gedung atau bangunan tua yang sudah ada sejak jaman Belanda. Lokasinya tidak jauh dari jembatan Siti Nurbaya. Dari luar tampilan cafe ini biasa saja, seperti tampilan gedung tua umumnya. Namun begitu masuk ke dalamnya, wow.... bagus sekali, suasana cafe modern terlihat dengan sangat jelas.

Interior bagian dalam dihiasi dengan tempurung batok kelapa, ada juga yang dilapisi dengan batang pohon kelapa dan nyaris seluruh dindingnya berwarna kecoklatan. Meja kursi untuk pengunjung juga terbuat dari kayu pohon kelapa.  Namun tidak seluruhnya kursi yang ada dibuat dari kayu pohon kelapa, ada juga deretan sofa berwarna orange di bagian kiri ruangan yang membelakangi jendela terletak disisi barat, sedangkan dibagian kanan didekat bar juga terdapat sofa dengan warna yang sama. Jumlah meja kursinya terbilang cukup banyak, saya tidak sempat menghitung ada berapa, tp tempat yang saya duduki adalah meja nomor 31, artinya jumlah yang ada tentu lebih dari itu.

Ruangan dalam cafe Karambia

Menu buka puasa

Karena pesan untuk berbuka, maka tersedia paket Ramadhan, teman saya memesan Paket F Ramadhan yang terdiri dari nasi ayam bakar, sayur asem, es kelapa jeruk, air mineral kecil dan satu buah potong, sedangkan saya memesan paket G Ramadhan yang kurang lebih memiliki menu yang sama hanya berbeda pada menu nasinya, yakni nasi ayam cabe hijau. Diluar paket itu, saya juga memesan sayuran berupa satu porsi capcay kuah. Soal harga ......, jangan ditanya ya ? karena untuk kuliner kali ini saya tidak sempat memperoleh informasi soal harga. Pertama, karena ditraktir oleh teman, dan rasanya kurang etis kalau tanya soal harga. Kedua, karena sebelumnya memang tidak mempunyai rencana untuk menuliskan pengalaman kuliner ini. 

Nasi ayam sambel ijo


Cap cay
sayur asem 

es kelapa jeruk dan buah potong

Karena waktu berbuka puasa masih sekitar satu jam lagi, saya gunakan waktu nya untuk melihat sekeliling ruangan cafe. Ada satu rangkaian tulisan yang menarik untuk saya baca, tulisan yang menempel di dinding itu berbunyi “Kenapa Karambia?”. Saya yakin tulisan ini tentunya bercerita tentang latar belakang atau sejarah cafe ini didirikan dengan nama Karambia. Karena tidak mungkin berlama-lama saya berdiri, maka tulisan itu saya foto dengan camera telepon seluler yang saya bawa, dan nanti akan saya baca sambil duduk. 

Rangkaian tulisan itu menceritakan tentang perjalanan “Hendri Long” pendiri cafe Karambia. Cerita nya dimulai dari sebuah keinginan untuk mendirikan sebuah cafe, yang berawal pada tahun 2013 ketika Hendri Long berkesempatan untuk mengunjungi negeri Paman Sam. Setelah mengelilingi kota New York sendirian dengan berpayung hitam seharga 5 dolar dan ditemani hujan gerimis, dia menyadari bahwa New York dipenuhi brand-brand top yang harganya selangit, mulailah dia berfikir untuk berbuat sesuatu. Setelah berkeliling di beberapa negara bagian, dia mengetahui satu hal “Negara Maju enggak ada apa-apanya, hanya saja mereka punya SDM hebat yang bisa menciptakan brand yang bisa membuat nitizen negara-negara berkembang begitu mengagung-agungkan produk mereka”. Maka sekali lagi dikatakan dalam tulisan itu kalau dia ingin menciptakan sesuatu, “Aku harus menciptakan sesuatu neh !” katanya.

Kenapa Karambia ?

Pada baris berikutnya tertulis, “Sepulang dari paman Sam, saya berkeliling kota, apa yang bisa saya buat. Saya berfikir, yang paling banyak yang ada di Indonesia, garis pantai yang terpanjang di dunia dengan iklim tropisnya. Kelapa lah yang paling banyak”. “Setelah saya berkeliling kota, saya melihat banyak masyarakat menjual air kelapa muda dan semua laku. Berarti, ada pasar, tapi mereka gak maju-maju. Ada yang salah. Aku harus merubah kelapa muda menjadi sesuatu yang lebih menjual. Karena Kesibukan break dulu neh”.


 Meja kursi menggunakan kayu kelapa

Pada alinea berikutnya, dijelaskan bahwa pada tahun 2014 Hendri ke Vietnam dan berjalan2 hingga sampai di sebuah cafe yang menyediakan kepala muda yang sedikit dipoles lebih menjual. Lalu dia berfikir “ini neh konsep yang seperti saya pikirkan”. Nah, bertambah matanglah keinginannya untuk membuat cafe. Setelah pulang dan membuat cafe lalu berpikir mau pake nama apa?, kalau nama “coconut” tentu tidak cocok, karena menurutnya itu nama asing. Kalau pake nama klapa, rupanya sudah ada klub terkenal di Bali dengan nama Klapa. Setelah dipikirkan muncullah nama “Karambia”.   

Pada alinea-alinea berikutnya, Hendri menceritakan soal menu. Menurutnya, dulu neneknya adalah perantau dari Hainan yang terkenal dengan kedai kopi, sedangkan bapaknya dulu adalah pemilik kebun kelapa seluas 10 ha. Walau akhirnya gagal, dia harus bangkitkan yang 2 generasi yang tidak tercapai. Dia gabungkan kedai kopi dan kelapa jadi “Karambia, cafe & hang out”. Menunya berbasis kelapa dari minuman hingga makanan.

Tidak banyak yang saya bisa ceritakan tentang cafe ini, karena tidak adanya informasi yang saya peroleh kecuali tulisan yang dipajang didinding dengan judul “kenapa Karambia?”. Namun demikian, penjelasan itu sudah sangat membantu bagi para pengunjung untuk memahami dan mengerti sejarah berdirinya cafe “Karambia”, dan rasanya tidak banyak cafe yang menuliskan sejarahnya untuk dibaca oleh para pengunjung. Mungkin saja, pengelola cafe menginginkan para pelanggannya bisa mengenal cafe ini secara lebih dekat, seperti bunyi pepatah “tak kenal maka tak sayang”. (Juni 2017)***




Tidak ada komentar:

Posting Komentar