Perjalanan ke Kota Kijang

Rasanya sudah tiga kali saya mengunjungi kota Tanjungpinang ibukota Provinsi Kepulauan Riau di Pulau Bintan. Pada dua kesempatan sebelumnya memang tidak banyak tempat yang bisa saya datangi. Maklum saja, dua kunjungan sebelumnya memang tidak memungkinkan, karena adanya keterbatasan waktu dan padatnya pekerjaan yang harus diselesaikan. Rencana untuk ekplore dan mengelilingi kota Tanjung Pinang serta blusukan ke daerah-daerah disekitarnya, sudah lama muncul dibenak saya. Nah....... ketika mendapat kesempatan yang ketiga ini, saya gunakan betul untuk mengunjungi banyak tempat di Pulau Bintan. Meskipun tidak sampai ke Tanjung Uban, namun dengan blusukan di kota Tanjungpinang hingga ke kota tua Kijang, telah memberikan pengalaman tersendiri.

Sekitar jam 14.00 siang, setelah menyelesaikan tanggungjawab pekerjaan, tanpa membuang waktu saya segera bersiap-siap untuk eksplore ke Kota Kijang. Dengan diantar dua orang teman, siang itu saya menuju kota Kijang dari Hotel CK tempat saya menginap selama dua malam. Mobil Ertiga yang saya naiki meluncur di jalan aspal yang cukup baik dan sebagian besar malah bisa dibilang mulus, sehingga tanpa banyak menimbulkan banyak goncangan, saya dengan mudah mengabadikan pemandangan di sepanjang jalan.

Jalan Utama Kota Kijang


Kota Kijang yang saya kunjungi ini adalah sebuah kota kecil yang letaknya tidak terlalu jauh hanya sekitar 27 km dari Kota Tanjungpinang, yang dapat dicapai dalam waktu  45 menit dengan menggunakan transportasi darat. Kota Kijang ini merupakan sebuah kota tua dan menjadi ibukota kecamatan Bintan Timur yang merupakan salah satu kecamatan di kabupaten Bintan. Kota Kijang juga merupakan sebuah  kota tua yang telah ada sejak lama, menurut berbagai literatur, konon sejarah kota ini berawal dari  adanya kegiatan pertambangan bauksit yang kemudian tumbuh dan menjadi salah satu pusat kegiatan ekonomi.

Pada era penjajahan Belanda, penambangan bauksit awalnya dikelola oleh NV. Nibem pada tahun 1930-an, dan setelah era kemerdekaan, penambangan bauksit dikelola oleh perusahaan dari dalam negeri. Pada tahun 1965, penambangan bauksit ini kemudian dikelola oleh PT Aneka Tambang (Antam) yang berlangsung selama 40 tahun lebih, hingga berakhir pada tahun 2009. Tepatnya pada September 2009, PT Antam menghentikan seluruh kegiatan penambangan, namun demikian tetap melakukan kegiatan pasca penambangan dalam usaha untuk memulihkan kondisi lingkungan yang rusak. 

Setelah menempuh perjalanan sekitar 45 menit, sampailah di Kota Kijang. Suasana kota sama seperti kota-kota umumnya di Indonesia yang banyak menampilkan rumah toko (ruko) modern dan juga taman-taman kota yang asri. Namun setelah melalui deretan ruko-ruko, ternyata masih ada ciri yang sangat khas yakni masih terdapatnya kota tua. Sebelum memasuki kota tua, kita akan melalui sebuah gapura yang menjadi pintu gerbang masuk wilayah kota tua ini.

Gapura kota Kijang

Memasuki kawasan kota tua Kijang, akan membawa kita pada suasana masa lampau, bagaimana tidak, bangunan di sepanjang jalan terlihat masih utuh berupa bangunan dua lantai yang masih menggunakan bahan dasar kayu. Bentuknya yang khas dengan arsitektur Melayu Tionghoa yang sangat unik. Hanya saja tidak seluruh bangunan di kota tua ini berbahan dasar kayu, beberapa diantaranya sudah ada yang direnovasi dengan bentuk ruko modern. Sayang juga sih kalau sampai nantinya bangunan-bangunan tua ini direnovasi menjadi modern semua, andaikata saja ada regulasi yang mengatur bahwa bentuk bangunan di kota tua boleh direnovasi tetapi tetap dalam bentuk aslinya atau dijadikan sebagai kawasan cagar budaya, tentu akan menjadi daya tarik untuk dikunjungi para wisatawan.

 Kawasan kota tua



Kota Kijang pada saat ini memiliki luas sekitar 23 kilometer per segi dengan jumlah penduduk berjumlah sekitar 27 ribu jiwa. Penduduk Kijang  umumnya  didominasi oleh suku Melayu, Tionghoa, Jawa dan Minang serta berbagai suku lainnya dari berbagai daerah di Indonesia. Meskipun penduduknya sangat heterogen, namun pengaruh budaya Tionghoa sangat terasa, sehingga kota ini juga sering menyelenggarakan festival dan perayaan kebudayaan Tionghoa, seperti imlek (tahun baru china) dengan menampilkan kebudayaan-kebudayaan Tionghoa dan aneka ragam pemasangan ornamen-ornamen tionghoa.

Vihara Bhakti Sasana Kota Kijang

Untuk mengenang Kota Kijang sebagai kota tambang bauksit, maka dibangunlah tugu bauksit yang bercerita tentang perjalanan sejarah tambang di Kota Kijang. Tugu bauksit terletak di sebuah pesimpangan jalan. Tepatnya berada di Jalan Trikora. Tugu ini melambangkan seorang pekerja yang sedang menambang bauksit dengan mengacungkan alat kerja nya berupa linggis ke udara. Tugu ini juga dilengkapi dengan relief sejarah perjalanan tambang bauksit yang ada di kota Kijang.  ini dibuat demi mengenang kejayaan Kijang sebagai salah satu lokasi penambangan bijih bauksit di Indonesia.

Warung penjual otak-otak




 Otak-otak pedas


Setelah melihat tugu bauksit, perjalanan dilanjutkan menuju ke daerah pelabuhan. Di pelabuhan tidak terlalu banyak yang bisa dilihat karena memang tidak memasuki kawasan pelabuhan secara khusus, tapi cukup dengan melihat kapal-kapal yang bersandar dari luar pelabuhan.  Perjalanan dilanjutkan lagi menuju perkampungan penduduk di wilayah kelurahan Sei-Enam yang banyak menjual penganan otak-otak. Penduduk yang bermukim disini banyak yang membuka usaha otak-otak dengan binaan dari Pertamina melalui program kemitraan Pertamina Terminal BBM Kijang. Otak-otak yang dijajakan berukuran kecil-kecil dan dibungkus dengan daun kelapa warna hijau dan ujungnya ditutup dengan streapless.


Kedai Kopi Jembatan 

pesan kopi
  
Perahu motor disebelah kedai Kopi

Tak lama berada disana, setelah menikmati otak-otak, kami sepakat untuk minum kopi dulu sebelum kembali ke Kota Tanjung Pinang. Akhirnya kami mengakhiri perjalanan keliling kota Kijang di sebuah kedai kopi yang terletak dekat jembatan yang merupakan batas kelurahan Sungai Enam. Kedai kopinya cukup menarik, didominasi warna coklat dengan tiang dari kayu dan atapnya dari alang-alang yang ditutup dengan asbes. Karena terletak tepi sungai dan bersebelahan dengan jembatan, maka kedai tersebut dinamai Kedai Kopi Jembatan.
    
 Kopi hitam

Sambil duduk menghadap sungai, saya memesan secangkir kopi hitam atau istilahnya kopi O, kopi tanpa cream atau tanpa campuran susu. Secangkir kopi panas mungkin saja bisa menghilangkan sedikit kepenatan. Sambil menyeruput kopi hitam yang dipesan, saya luangkan untuk melihat kesekeliling, dan sesekali memandang ke arah sungai dimana disitu terdapat beberapa perahu nelayan yang sedang ditambatkan. beberapa nelayan nampak sedang beraktivitas memperbaiki bagian-bagian perahu dan sebagian diantaranya memperbaiki jaring. Usai menikmati kopi di kedai jembatan kami bertiga kembali meneruskan perjalanan kembali ke Tanjung Pinang. Bye Kota Kijang, sampai ketemu lagi dilain kesempatan. (April 2018)***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar